Kepercayaan
Kepercayaan secara umumnya bermaksud akuan akan
benarnya terhadap sesuatu perkara. Biasanya, seseorang yang menaruh kepercayaan
ke atas sesuatu pekara itu akan disertai oleh perasaan 'pasti'
atau kepastian terhadap pekara yang berkenaan.
Kepercayaan dalam konteks psikologi adalah bermaksud suatu keadaan jiwa yang
berkaitan dengan sikap berkedudukan-memihak (propositional attitude).
Manakala dalam konteks agama pula, kepercayaan adalah sebahagian
daripada batu asas pembangunan moral. Dalam konteks ini, kepercayaan dikenali
sebagai Akidah ataupun Iman.
Adapun kepercayaan itu dikatakan berkaitan dengan sikap
berkedudukan-memihak, kerana ia sentiasanya melibatkan penekanan, penuntutan,
dan jangkaan daripada seorang individu mengenai kebenaran sesuatu. Kebenaran
yang dituntut itu mungkin sahih, dan mungkin palsu secara objektif, tetapi bagi
individu yang berkenaan ia adalah sahih.
Kepercayaan merupakan hal yang penting karena
membantu mengatur kompleksitas, membantu mengembangkan kapasitas aksi,
meningkatkan kolaborasi dan meningkatkan kemampuan pembelajaran organisasi.
Kunci yang sangat penting dalam membangun kepercayaan yang tinggi dalam
organisasi adalah pencapaian hasil, bertindak dengan integritas, dan
pendemonstrasian perhatian. Peningkatan tingkat kepercayaan membutuhkan
keseimbangan dari hal-hal penting yang telah tersebut di atas, meskipun ada
konflik di antara para pihak dalam organisasi. Tindakan penyeimbangan membutuhkan
desain organisasi yang dapat mendukung kepercayaan, baik struktur organisasi
maupun budaya tidak formal (Shaw,1997). Berdasarkan uraian tersebut timbul
suatu pertanyaan. Apa definisi atau pengertian kepercayaan? Dalam hal ini akan
dikemukakan definisi atau pengertian kepercayaan menurut pendapat para ahli
atau pakar, antara lain : (1) Das dan Teng (1998) memberikan definisi
ataupengertian kepercayaan (trust) sebagai derajat di mana seseorang yang
percaya menaruh sikap positif terhadap keinginan baik dan
keandalan orang lain yang dipercayanya di dalam situasi yang berubah ubah dan
beresiko. (2) Rousseau et al, (1998) memberikan definisi atau pengertian
kepercayaan sebagai bagian psikologis yang terdiri dari keadaan pasrah untuk
menerima kekurangan berdasarkan harapan positif dari niat atau perilaku orang
lain. (3) Mayer (1995) memberikab definisi kepercayaan dalam definisi yang lain
dinyatakan sebagai keinginan suatu pihak untuk menjadi pasrah/menerima tindakan
dari pihak lain berdasarkan pengharapan bahwa pihak lain tersebut akan
melakukan sesuatu tindakan tertentu yang penting bagi pihak yang memberikan
kepercayaan, terhadap kemampuan memonitor atau mengendalikan pihak lain. (4)
Doney et.al. (1998) memberikan definisi atau pengertian kepercayan sebagai
sesuatu yang diharapkan dari kejujuran dan perilaku kooperif yang
berdasarkan saling berbagi norma-norma dan nilai yang sama .
1.
Pengertian
Kepercayaan
Kepercayaan adalah kemauan
seseorang untuk bertumpu pada orang lain dimana kita memiliki keyakinan padanya.
Kepercayaan merupakan kondisi mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan
konteks sosialnya. Ketika seseorang mengambil suatu keputusan, ia akan lebih
memilih keputusan berdasarkan pilihan dari orang- orang yang lebih dapat ia
percaya dari pada yang kurang dipercayai (Moorman, 1993).
Menurut Rousseau et al (1998),
kepercayaan adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk menerima
apa adanya berdasarkan harapan terhadap perilaku yang baik dari orang lain.
Kepercayaan konsumen didefinisikan sebagai kesediaan satu pihak untuk menerima
resiko dari tindakan pihak lain berdasarkan harapan bahwa pihak lain akan
melakukan tindakan penting untuk pihak yang mempercayainya, terlepas dari
kemampuan untuk mengawasi dan mengendalikan tindakan pihak yang dipercaya
(Mayer et al, 1995).
Menurut Ba dan Pavlou (2002) mendefinisikan kepercayaan sebagai
penilaian hubungan seseorang dengan orang lain yang akan melakukan transaksi
tertentu sesuai dengan harapan dalam sebuah lingkungan yang penuh ketidakpastian.
Kepercayaan terjadi ketika
seseorang yakin dengan reliabilitas dan integritas dari orang yang dipercaya
(Morgan & Hunt, 1994).
Doney dan Canon (1997) bahwa
penciptaan awal hubungan mitra dengan pelanggan didasarkan atas kepercayaan.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh McKnight, Kacmar, dan Choudry (dalam
Bachmann & Zaheer, 2006), menyatakan bahwa kepercayaan dibangun sebelum
pihak-pihak tertentu saling mengenal satu sama lain melalui interaksi atau
transaksi. Kepercayaan secara online mengacu pada kepercayaan dalam
lingkungan virtual.
Menurut Rosseau, Sitkin, dan
Camere (1998), definisi kepercayaan dalam berbagai konteks yaitu kesediaan
seseorang untuk menerima resiko. Diadaptasi dari definisi tersebut, Lim et al
(2001) menyatakan kepercayaan konsumen dalam berbelanja internet sebagai
kesediaan konsumen untuk mengekspos dirinya terhadap kemungkinan rugi yang
dialami selama transaksi berbelanja melalui internet, didasarkan harapan bahwa
penjual menjanjikan transaksi yang akan memuaskan konsumen dan mampu untuk
mengirim barang atau jasa yang telah dijanjikan.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa kepercayaan konsumen adalah kesediaan satu pihak
menerima resiko dari pihak lain berdasarkan keyakinan dan harapan bahwa pihak
lain akan melakukan tindakan sesuai yang diharapkan, meskipun kedua belah pihak
belum mengenal satu sama lain.
Dimensi Kepercayaan
Menurut McKnight, Kacmar, dan
Choudry (dalam Bachmann & Zaheer, 2006), kepercayaan dibangun antara
pihak-pihak yang belum saling mengenal baik dalam interaksi maupun proses
transkasi. McKnight et al (2002a) menyatakan bahwa ada dua dimensi
kepercayaan konsumen, yaitu:
a. Trusting Belief
Trusting belief adalah sejauh mana seseorang
percaya dan merasa yakin terhadap orang lain dalam suatu situasi. Trusting
belief adalah persepsi pihak yang percaya (konsumen) terhadap pihak yang
dipercaya (penjual toko maya) yang mana penjual memiliki karakteristik yang
akan menguntungkan konsumen. McKnight et al (2002a) menyatakan bahwa ada
tiga elemen yang membangun trusting belief, yaitu benevolence,
integrity, competence.
1.
Benevolence
Benevolence (niat baik) berarti seberapa
besar seseorang percaya kepada penjual untuk berperilaku baik kepada konsumen. Benevolence
merupakan kesediaan penjual untuk melayani kepentingan konsumen.
2.
Integrity
Integrity
(integritas)
adalah seberapa besar keyakinan seseorang terhadap kejujuran penjual untuk
menjaga dan memenuhi kesepakatan yang telah dibuat kepada konsumen.
3.
Competence
Competence (kompetensi) adalah keyakinan
seseorang terhadap kemampuan yang dimiliki penjual untuk membantu konsumen
dalam melakukan sesuatu sesuai dengan yang dibutuhkan konsumen tersebut. Esensi
dari kompetensi adalah seberapa besar keberhasilan penjual untuk menghasilkan
hal yang diinginkan oleh konsumen. Inti dari kompetensi adalah kemampuan
penjual untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
b. Trusting Intention
Trusting intention adalah suatu hal yang disengaja
dimana seseorang siap bergantung pada orang lain dalam suatu situasi, ini
terjadi secara pribadi dan mengarah langsung kepada orang lain. Trusting
intention didasarkan pada kepercayaan kognitif seseorang kepada orang lain.
McKnight et al (2002a) menyatakan bahwa ada dua elemen yang membangun trusting
intention yaitu willingness to depend dan subjective probability
of depending.
i. Willingness to depend
Willingness to depend adalah kesediaan konsumen untuk
bergantung kepada penjual berupa penerimaan resiko atau konsekuensi negatif
yang mungkin terjadi.
ii.Subjective probability of
depending
Subjective
probability of depending adalah kesediaan konsumen secara subjektif
berupa pemberian informasi pribadi kepada penjual, melakukan transaksi, serta
bersedia untuk mengikuti saran atau permintaan dari penjual.
3. Faktor- Faktor yang
Memperngaruhi Kepercayaan
Terdapat beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kepercayaan seseorang. McKnight et al (2002b)
menyatakan bahwa ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepercayaan konsumen
yaitu perceived web vendor reputation, dan perceived web site quality.
a. Perceived web vendor
reputation
Reputasi merupakan suatu
atribut yang diberikan kepada penjual berdasarkan pada informasi dari orang
atau sumber lain. Reputasi dapat menjadi penting untuk membangun kepercayaan
seorang konsumen terhadap penjual karena konsumen tidak memiliki pengalaman
pribadi dengan penjual, Reputasi dari mulut ke mulut yang juga dapat menjadi
kunci ketertarikan konsumen. Informasi positif yang didengar oleh konsumen
tentang penjual dapat mengurangi persepsi terhadap resiko dan ketidakamanan
ketika bertransaksi dengan penjual. Hal ini dapat membantu meningkatkan
kepercayaan konsumen tentang kompetensi, benevolence, dan integritas
pada penjual.
b. Perceived web site
quality
Perceived
web site quality yaitu persepsi akan kualitas situs dari toko
maya. Tampilan toko maya dapat mempengaruhi kesan pertama yang terbentuk.
Menurut Wing Field (dalam Chen & Phillon, 2003), menampilkan website secara
professional mengindikasikan bahwa toko maya tersebut berkompeten dalam
menjalankan operasionalnya. Tampilan website yang professional
memberikan rasa nyaman kepada pelanggan, dengan begitu pelanggan dapat lebih
percaya dan nyaman dalam melakukan pembelian.
Kepercayaan
Sebagai Landasan Kepemimpinan
Kepercayaan adalah suatu harapan
positif bahwa orang tidak akan bertindak secara oportunistik. Bila pengikut
mempercayai pemimpinnya, mereka bersedia berkorban bagi tindakan pemimpin.
Pemimpin percaya bahwa hak dan kewajiban
mereka tidak akan disalahgunakan. Keefektifan manajerial dan kepemimpinan
tergantung pada kemampuan untuk mendapatkan kepercayaan dari para pengikut.
Ada tiga jenis kepercayaan dalam
hubungan organisasi:
1.
Kepercayaan
berdasarkan penolakan
Kepercayaan yang didasarkan pada
ketakutan akan pembalasan jika kepercayaan dilanggar. Bawahan sebenarnya tidak mempercayai
atasannya tetapi karena takut hal itu akan berdampak yang tidak diinginkan maka
dia memberikan kepercayaan semu ke pada atasannya.
2.
Kepercayaan
berbasiskan pengetahuan
Kepercayaan yang diberikan bawahan
kepada atasan yang didasarkan pada keyakinan bahwa atasannya memang benar dan
kapabel.
3.
Kepercayaan
yang berbasis identifikasi
Kepercaayaan berdasarkan pemahaman
timbal-balik tentang setiap instansi pihak lain dan penghargaan atas kemauan
dan keinginan pihak lain.
Kunci Membangun Kepercayaan
Robbins (2008) menyatakan, “The essence of leadership is trust” (esensi
kepemimpinan adalah kepercayaan). Kepercayaan adalah harapan positif. Kunci
membangun kepercayaan ada lima dimensi, yaitu (1) integritas (integrity), (2) kompetensi (competence), (3) konsistensi (concistency), (4) kesetiaan (loyalty), dan (5) keterbukaan (openness) atau transparansi
(Robbins,2000).
1. Integritas
(Integrity)
Integritas ialah
sifat-sifat yang jujur dan bermoral (Robbins, 2000). “Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana.” Di organisasi juga tentunya. Jujur dalam berorganisasi misalnya
jujur saat mengemukakan pendapat, laporan, jujur masalah uang, jujur dalam
menilai kinerja, dan lain-lain. Jujur berkaitan dengan masalah moralitas,
realita, dan fakta. Maka, masalah kejujuran pada dasarnya berangkat dari hati
nurani seseorang. Tidak jarang, banyak oknum dalam organisasi berbuat dan
berkata tidak jujur untuk menutupi sesuatu.
Kejujuran
adalah unsur yang menentukan dalam peristiwa komunikasi. Kejujuran tidak saja
menjadikan proses komunikasi menjadi efektif, tetapi juga mampu menciptakan
pemahaman yang baik di antara komunikan dan komunikator. Pesan yang dilandasi
kejujuran mengarahkan komunikasi terhindar dari distorsi. Apalagi jika momentum
komunikasi itu terjadi dalam dunia pendidikan. Nilai kejujuran mutlak dipenuhi.
Pendidikan tidak hanya menciptakan tamatan yang pintar, tetapi juga harus
jujur. Orang pintar belum tentu jujur, begitu pula sebaliknya orang jujur belum
tentu pintar. Kejujuran menyaratkan ketidakbohongan. Orang jujur berarti tidak
pernah berdusta. Tetapi orang yang paling jujur sekalipun pasti pernah
melakukan kebohongan, namun dilakukan dalam keadaan darurat dan untuk kebaikan.
Filsuf perempuan, Sissela Bok, dalam bukunya berjudul, Lying, menegaskan bahwa berbohong boleh dilakukan untuk
menyelamatkan kehidupan manusia yang tidak berdosa. Namun, jika kebohongan itu
untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan financial maka perbuatan itu tidak
dapat dibenarkan bahkan diharamkan hukumnya. Integritas moral bukan bermakna
kehidupan pribadi telah berkesesuaian dengan persetujuan publik, tetapi juga
telah terciptanya kesatuan antara hati nurani yang secara internal terdapat
dalam diri manusia, perilaku eksternal dapat dilihat secara fisik dan kepatuhan
kepada hukum moral. Secara normatif, setiap orang diajarkan oleh orang tua dan
budayanya tentang kejujuran dan moralitas. Menurut Sukardi Rinakit (2008), pada
tingkat pribadi, kejujuran sudah sulit ditemukan.
Kepribadian para pimpinan juga memainkan peran penting dalam
menumbuhkembangkan kepercayaan dalam organisasi. Agar dipercaya, seorang
pemimpin organisasi tentu mutlak harus memiliki integritas dan kejujuran.
Mereka harus benar-benar peduli pada etika dan moral, memiliki pendirian yang
teguh, selalu berusaha menepati janji, dan berkomitmen penuh bagi kemajuan
organisasi dan kesejahteraan anggotanya. Ingatlah orang akan lebih peduli pada
apa yang dikerjakan ketimbang apa yang dikatakan. Actions speak louder than
words.
2. Kompetensi (competence)
Integritas
saja tentu tidak cukup. Pemimpin harus memiliki bakat, sikap, pengetahuan,
keterampilan, dan gaya yang sesuai. Dengan kata lain, pemimpin harus benar-benar
memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Berikutnya adalah kesediaan memikul
tanggung jawab sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam organisasi. Pemimpin
macam ini tidak akan mudah mencari kambing hitam bila ada hal-hal yang tidak
beres. Mereka lebih memfokuskan diri kepada apa yang salah, bukan siapa yang
salah.
Teori
birokrasi Weber (Lunenberg & Orstein,2004) menyatakan bahwa kompetensi
berkaitan denga kualifikasi. Kompetensi
ialah sifat, pengetahuan, dan kemampuan pribadi seseorang yang relevan dalam
menjalankan tugasnya secara efektif (Chung & Megginson, 1993). Sedangkan
menurut Harris, et al.(1997), kompetensi meliputi seluruh aspek penampilan
kerja, melainkan juga persyaratan melatih keterampilan- keterampilan tugas
individual, mengelola sejumlah tugas yang berbeda di dalam pekerjaan, merespons
ketidakteraturan dan mengatasinya dalam tugas-tugas rutin, serta mempertemukan
tanggung jawab dengan harapan-harapan di lingkungan kerja, termasuk bekerja
sama dengan yang lain.
Kompetensi terdiri atas kompetensi
generik dan spesifik. Kompetensi generik ialah
kompetensi yang bersifat umum yang harus dimiliki setiap pekerja. Sedangkan kompetensi spesifik ialah kompetensi
khusus untuk mengerjakaa pekerjaan khusus. Secara umum kompetensi merupakan, penegetahuan
keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus
menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu
(Puskur, 2002). Sedangkan Cony R. Semiawan (2006) mendefinisikan kompetensi
sebagai kemampuan (ability),
keterampilan (skill), dan sikap (attitude) yang benar dan tuntas untuk
menjalankan perannya secara lebih efisien.
Dari beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi
ialah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seseorang, yang
mencakup kepribadian, manjerial, entrepreneurship,
supervisi, sosial, administrasi, dan teknis dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya.
3.
Konsistensi (concistency)
Konsistensi ialah sifat kokoh atau teguh (persistent) pada pendirian, meskipun
berbagai ancaman menghadang. Orang yang konsisten dapat diramalkan tingkah
lakunya, tidak mudah berubah-ubah perilakunya (sikap, pikiran dan
perbuatannya), ucapan dan janjinya dapat dipercaya serta cocok antara kata dan
perbuatannya. Ketidakkonsistenan anatara ucapan dan perbuatan, janji dan
buktinya, dapat mengurangi bahkan menghilangkan kepercayaan.
4.
Kesetiaan (loyalty)
Kesetiaan
ialah keinginan untuk selalu melindungi, menyelamatkan, memenuhi atau taat pada
apa yang disuruh atau dimintanya, dan penuh pengabdian. Orang yang setia tidak
aka berkhianat, serong atau selingkuh. Loyalitas mengacu pada kesetiaan pada organisasi, kerelaan berkorban
untuk organisasi, dan hal-hal lain yang sifatnya herois. Loyalitas akan
menggerakkan motor-motor organisasi untuk tetap bekerja meski dalam kondisi
yang tidak menguntungkan, kondisi kekurangan, atau kondisi-kondisi buruk
lainnya.
Pada kasus-kasus tertentu, suatu organisasi
dapat bertahan karena memiliki anggota-anggota yan loyal. Padahal, secara
program organisasi tersebut bisa dikatakan tidak bergerak sama sekali. Ada
banyak hal yang membuat orang menjadi loyal pada sebuah organisasi. Kebanyakan
orang menjadi loyal karena telah memahami seluk beluk organisasi itu, masalah,
tantangan yang dihadapi organisasi dalam kaitannya dengan tujuan organisasi
itu, atau karena telah lama berorganisasi disitu. Anggota yang loyal, ibarat
seorang pejuang yang rela tetap semangat berperang dalam kondisi perut lapar,
amunisi dan senjata kurang, walaupun pasukan diambang kekalahan.
5.
Keterbukaan (openness)
Keterbukaan
adalah keadaan dimana setiap orang yang terkait dengan pendidikan dapat
mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah.
Keterbukaan sama dengan polos, apa adanya, tidak bohong, tidak curang, jujur,
dan terbuka terhadap publik tentang apa yang dikerjakan oleh sekolah. Hal-hal yag dibuka, misalnya administrasi
kedinasan, keuangaan sekolah, manajemen sekolah dan kebijakan sekolah. Pemimpin
Unit Produksi Sekolah (UPS) yang terikat dengan warga sekolah, dalam
mengembangkan UPS harus melakukan diskusi terbuka dalam memajukan UPS (Hisrich
& Peters 2002). Keterbukaan seorang entrepreneur
dalam manajemen UPS dapat mengurangi, bahkan menghilangkan rasa saling curiga
antara sekolah dengan stakeholder-nya.
Keterbukaan merupakan awal dari kejujuran. Sekarang banyak orang pintar, tetapi
sedikit orang yang jujur. Tugas kepala sekolah dan guru adalah memberi dan
menjadi contoh sebagai orang yang jujur kepada siswa-siswanya. Keterbukaan
hanya akan efektif jika ada komunikasi yang efektif. Demikian sebaliknya.
12
|
Cara untuk meningkatkan keterbukaan
adalah (1) mendayagunakan berbagai jalur komunikasi, baik langsung maupun tidak
langsung, (2) menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan
informasi, bentuk informasi dan prosedur pengaduan apabila informasi tidak
sampai kepada publik, (3) mengupayakan peraturan yang menjamin hak publik untuk
memperoleh informasi.
|
Cara
membangun kepercayaan adalah menjadi pemimpin yang mampu menyesuaikan diri,
teguh pendiriannya, peduli, dapat dipercaya (jujur), bersama-sama menciptakan
visi dan budaya, bersama-sama menciptakan nilai dan mencapai tujuan, menjadi
pendengar yang baik, mendemonstrasikan keterampilan profesional, komitmen
terhadap diri sendiri, kelompok, dan organisasi (Reinhartz & Beach, 2004).
1.
Mampu Menyesuaikan Diri
Pemimpin yang mampu menyesuaikan diri
adalah pemimpin yang mudah beradapatasi dengan lingkungan yang selalu
berubah-ubah dengan cepatnya. Ia harus fleksibel. Fleksibel ialah bersifat
luwes kepada siapa saja dalam pergaulan. Tidak kaku dengan orang lain maupun
dengan aturan sekolah yang berlaku. Dengan sifat fleksibel seseorang lebih
lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya sekolah secara optimal,
tidak lagi harus menunggu petunjuk dari atasan dalam mengelola dan
memberdayakan sumber daya sekolah yang ada. Akibatnya seseorang akan lebih
responsif dan lebih cepat dalam merespon kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman yang dihadapinya. Meskipun seseorang sudah memiliki
keluwesan-keluwesan, ia harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di sekolahnya. Dalam konteks sekolah,
fleksisbilitas ialah keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk
mengelola sekolah dengan baik dalam rangka meningkatkan kualitas sekolah.
Pemimpin yang teguh pada pendiriannya (Persistent).
2. Kepedulian
Kepedulian (caring) berkorelasi positif dengan kepercayaan.
Pemimpin harus bisa menjadi sandaran bagi para pengikutnya tatkala mereka
merasa lelah, cemas, frustrasi, dan kehilangan motivasi. Menghadapi kondisi
pengikut yang demikian, dibutuhkan pemimpin yang mampu berperan sebagai
motivator yang mampu membangkitkan kembali semangat para pengikut. Pemimpin
secacam ini akan mampu membangun kedekatan emosional dengan para pengikutnya.
Demikian pula sebaliknya.
3.
Menciptakan Visi dan Budaya
Berasama-sama menciptakan visi dan
budaya adalah pemimpin bersama pengikutnya sama-sama menciptakan visi dan
budaya lokal yang ingin diciptakan, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam
Mukadimah UUD 1945 sehingga dapat dipahami bahwa kekeluargaan dan gotong
royong, musyawarah dan mufakat, serta toleransi merupakan keunggulan bangsa.
Nilai-nilai sosial dan budaya lokal tersebut sudah berabad-abad hadir menjadi
jati diri masyarakat Indonesia terutama di masyarakat pedesaan sehingga
tercipta keamanan, perdamaian, keadilan, persaudaraan dan kemakmuran.
Sebaliknya, kelemahan nilai-nilai dan budaya bangsa menurut Koentjaraningrat
(1982) adalah feodal, rendah diri, malas, munafik dan suka mencari “kambing
hitam”. Dengan berkembangnya liberalisme, individualisme. Materialisme,
Hedonisme dan pragmatisme semakin menambah atau mendukung kelemahan-kelemahan
nilai-nilai dan budaya bangsa tersebut.
Sebagai contoh, feodalisme yang berujung
pada status sosial, yaitu diperolehnya kedudukan dan kekuasaan, serta materi
justru terpromosi. Akibatnya, perkembangan nilai dan budaya bangsa dari era ke
era diwarnai oleh tumbuhnya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), nafsu berburu
kedudukan, kekuasaan dan materi. Terlebih di era reformasi di mana kebebasan
dan demokratisasi dipromosi tanpa rambu-rambu yang memadai dan melihat
kenyataan di masyarakat (Kiki Syakhnakri, 2007). Kepemimpinan merupakan kunci
keberhasilan penciptaan nilai-nilai dan budaya bangsa. Oleh karena itu,
diperlukan kepemimpinan yang jujur, kuat, bersih, berani mengambil kepeutusan
dan resiko, menjadi teladan, lebih banyak bekerja daripada berbicara. Dengan
kata lain, kepemimpinan harus yang berkarakter. Akan tetapi, menurut Sukardi Rinakit
(2008), pada tingkat lingkungan, semangat gotong royong semakin luntur. Pada
tingkat nasional semagat kebangsaan merosot, kepemimpinan tampil tanpa
karakter, sikap kesatria dan keteladanan menjadi langka. Bahkan ada kesan,
tidak ada keberpihakkan pemimpin terhadap rakyat lemah yang menjadi korban
perubahan. Pendeknya, tak ada yang menangis untuk rakyat miskin.
Keberhasilan Amerika, Cina,
Malaysia dan Singapura dalam proses
pembangunan nasionalnya adalah sebagian besar karena peran kepemimpinan berkarakter.
Oleh karena itu, dalam proses penciptaan nilai-nilai dan budaya bangsa, para
pemimpin pada setiap lini termasuk kepemimpinan pendidikan bermasyarakat
dituntut terlebih dahulu memiliki karakter dan mampu menjadi teladan (Kiki
Syahnakri, 2007). Para pendiri bangasa (founding
fathers) menjadikannya sebagai nilai yang harus diciptakan dalam kehidupan
bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Nilai- nilai ini digali dari kearifan
lokal yang sudah lama berkembang di berbagai kalangan masyarakat Indonesia (Kiki
Syahnari, 2007). Misalnya toleransi dapat dikatakan semua kalangan masyarakat
nusatara memiliki toleransi yang tinggi. Oleh karena itu saat agama Budha,
Hindu, Katolik, Kristen dan Islam masuk ke Indonesia, sangat sedikit terjadinya
gejolak. Tidak seperti di Eropa dan Timut Tengah yang tiada henti dilanda
konflik, bahkan perang dengan latar belakang agama. Sedangkan nilai-nilai
ekonomi yang ingin diciptakan adalah nilai-nilai Creativity, Relationship, Opportunity, Winner, and Nothing to loose
(CROWN), belajar, dan mutu (Kompas, 20 Februari 2008).
Kreativitas ialah refleksi kecerdasan kreatif
kita. Kecerdasan kreatifitas kita menggambarkan bagaimana kita melihat dan
memahami dunia,keyakinan dasar kita, dan kepribadian kita. Kreativitas
memusatkan perhatian pada bagaimana kita berpikir dan keinginan kita yang kuat
untuk mencapai sesuatu yang baru atau berbeda (Rowe, 2004). Kreativitas
meliputi; intuitif, inovatif, imajinatif dan inspiratif (Rowe,2004). Jepang dan
Singapura adalah Negara yang miskin
sumber daya alam, tetapi masyarakatnya aman dan sejahtera karena melatihkan
nilai-nilai kreativitas sehingga alumninya berdaya saing.
Relationship
adalah nilai-nilai hubungan manusiawi (human relation) atau hubungan
interpersonal, Pendidikan harus melatih nilai-nilai relationship karena sebagai pekerja atau pengusaha, ia harus
memiliki relationship yang baik
ketika berhubungan dengan atasannya atau pelanggannya. Untuk itu pendidikan
harus membekali alumninya dengan nilai-nilai relationship agar memiliki kompetensi sosial atau hubungan
manusiawi yang baik.
Opportunity ialah faktor-faktor dari luar diri
yang mendukung orang untuk sukses. Peluang adalah salah satu unsur SWOT (Strengths, Weakness, Threats and
Opportunities). Pendidikan masyarakat hendaknya membekali alumninya dengan
nilai-nilai opportunity dan manajemen
risiko agar alumninya mampu membaca peluang dan berani mengambil resiko
sehingga alumninya berdaya saing tinggi.
Winner, ialah pemenang dalam persaingan. Untuk
menjadi pemenang, seseorang harus memiliki nilai-nilai dan mental untuk menjadi
juara. Agar menjadi pemenang, maka ciptakanlah sesuatu dengan prinsip melakukan
yang terbaik (do the best).
Pendidikan masyarakat hendaknya membekali alumninya dengan nilai-nilai winner
agar alumninya menjadi pekerja bermental juara sehingga alumninya mampu
memenangkan persaingan.
Nothing
to loose ialah konsistensi,
yaitu sifat kokoh atau teguh (persistent)
pada pendirian meskipun berbagai ancaman menghadang. Pendidikan masyarakat
harus membekali alumninya dengan nilai-nilai nothing to loose, yaitu sebagai pengusaha atau pekerja yang ulet,
kerja keras dan cerdas, tahan banting, dan memilki etos kerja yang tinggi
sehingga alumninya berdaya saing yang tinggi.
4.
Komitmen
Pemimpin ialah keterpanggilan dan
pengabdian dan tanggung jawab terhadap diri sendiri, kelompok, organisasi untuk
terlibat, terikat dan kebersamaan dengan orang, konsumen, organisasi dan tugas.
Setiap orang yang bekerja di suatu perusahaan atau organisasi,
harus mempunyai komitmen dalam bekerja karena apabila suatu perusahaan
karyawannya tidak mempunyai suatu komitmen dalam bekerja, maka tujuan dari
perusahaan atau organisasi tersebut tidak akan tercapai. Namun terkadang suatu
perusahaan atau organisasi kurang memperhatikan komitmen yang ada terhadap
karyawannya, sehingga berdampak pada penurunan kinerja terhadap karyawan
ataupun loyalitas karyawan menjadi berkurang.
Komitmen pada setiap karyawan sangat penting karena dengan suatu
komitmen seorang karyawan dapat menjadi lebih bertanggung jawab terhadap
pekerjaannya dibanding dengan karyawan yang tidak mempunyai komitmen. Biasanya
karyawan yang memiliki suatu komitmen, akan bekerja secara optimal sehingga
dapat mencurahkan perhatian, pikiran, tenaga dan waktunya untuk pekerjaanya,
sehingga apa yang sudah dikerjakannya sesuai dengan yang diharapkan oleh
perusahaan.
Beberapa
ahli mendefinisikan komitmen organisasional karyawan sebagai berikut:
- Mathis and Jackson dalam Sopiah
(2008:155) memberikan definisi “Organizational Commitment is the degree to
which employees believe in and accept organizational goals and desire to
remain with the organization (komitmen organisasional adalah derajat yang
mana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap
tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi)”.
- Mowday dalam Sopiah (2008:155)
menyebut komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional.
Menurut dia, “komitmen organisasional merupakan dimensi perilaku penting
yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan pegawai. Komitmen
organisasional adalah identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif
kuat terhadap organisasi. Komitmen organisasional adalah keinginan anggota
anggota organisasi untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi
dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi”.
- Lincoln dalam Sopiah (2008:155),
“komitmen organisasional mencakup kebanggaan anggota, kesetiaan anggota
dan kemauan anggota pada organisasi”.
- Blau and Boal dalam Sopiah
(2008:155) menyebutkan “komitmen organisasional sebagai keberpihakan dan
loyalitas karyawan terhadap organisasi dan tujuan organisasi”.
- Robbins dalam Sopiah
(2008:155-156) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai “suatu sikap
yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari karyawan terhadap
organisasi.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen
dalam organisasi adalah sebuah kepercayaan dan penerimaan terhadap
tujuan-tujuan dimana seseorang dapat bertahan dengan kesetiaannya demi kepentingan
organisasi sehingga terbentuk sebuah loyalitas sehingga membuat seseorang dapat
bertahan untuk memelihara keanggotaannya dalam suatu organisasi.
Menurut
Meyer, Allen & Smith dalam jurnal Proceeding PESAT Vol.2, komitmen
organisasi terdiri dari 3 komponen yaitu:
- Komitmen kerja afektif (affective
occupational commitment)
Komitmen sebagai ketertarikan afektif/psikologis karyawan terhadap
pekerjaannya. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan
karena mereka menginginkannya.
- Komitmen kerja kontinuans
(continuance occupational commitment)
Mengarah pada perhitungan untung-rugi dalam diri karyawan
sehubungan dengan keinginannya untuk tetap mempertahankan atau meninggalkan
pekerjaannya. Artinya, komitmen kerja disini dianggap sebagai persepsi harga
yang harus dibayar jika karyawan meninggalkan pekerjaannya. Komitmen ini
menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka
membutuhkannya.
- Komitmen kerja normatif (normative
occupational commitment)
Komitmen sebagai kewajiban untuk bertahan dalam pekerjaannya.
Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka
merasa wajib untuk melakukannya serta didasari pada adanya keyakinan tentang
apa yang benar dan berkaitan dengan moral.
Namun terkadang ketiga komitmen tersebut tidak semuanya tercapai
oleh karyawan terhadap suatu perusahaan atau organisasi, lalu bagaimana untuk
dapat meningkatkan komitmen karyawan dalam suatu perusahaan atau organisasi.
Menurut
Martin dan Nicholls (dalam Armstrong, 1991) menyatakan bahwa ada 3 (tiga) pilar
untuk membentuk komitmen seseorang terhadap organisasi, yaitu:
- Menciptakan rasa kepemilikan
terhadap organisasi, untuk menciptakan kondisi ini orang harus
mengidentifikasi dirinya dalam organisasi, untuk mempercayai bahwa ada
guna dan manfaatnya bekerja di organisasi, untuk merasakan kenyamanan
didalamnya, untuk mendukung nilai-nilai, visi, dan misi organisasi dalam
mencapai tujuannya. Salah satu faktor penting dalam menciptakan rasa
kepemilikan ini adalah meningkatkan perasaan seluruh anggota organisasi
bahwa perusahaan (organisasi) ini adalah benar-benar merupakan “milik”
mereka. Kepemilikan ini tidak sekedar dalam bentuk kepemilikan saham saja
(meskipun kadangkala ini juga merupakan cara yang cukup membantu), namun
lebih berupa meningkatkan kepercayaan di seluruh anggota organisasi bahwa
mereka benar-benar (secara jujur) diterima oleh manajemen sebagai bagian
dari organisasi. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk itu, mengajak
mereka anggota organisasi untuk terlibat memutuskan penciptaan dan
pengembangan produk baru, terlibat memutuskan perubahan rancangan kerja
dan sebagainya. Bila mereka anggota organisasi merasa terlibat dan semua
idenya dipertimbangkan maka muncul perasaan kalau mereka ikut
berkontribusi terhadap pencapaian hasil. Apalagi ditambah dengan
kepercayaan kalau hasil yang diperoleh organisasi akan kembali pada
kesejahteraan mereka pula.
- Menciptakan semangat dalam
bekerja, cara ini dapat dilakukan dengan lebih mengkonsentrasikan pada
pengelolaan faktor-faktor motivasi instrinsik dan menggunakan berbagai
cara perancangan pekerjaan. Menciptakan semangat kerja bawahan bisa dengan
cara membuat kualitas kepemimpinan yaitu menumbuhkan kemauan manajer dan
supervisor untuk memperhatikan sepenuhnya motivasi dan komitmen bawahan melalui
pemberian delegasi tanggung jawab dan pendayagunaan ketrampilan bawahan.
- Keyakinan dalam manajemen, cara
ini mampu dilakukan manakala organisasi benar-benar telah menunjukkan dan
mempertahankan kesuksesan. Manajemen yang sukses menunjukkan kepada bawahan
bahwa manajemen tahu benar kemana organisasi ini akan dibawa, tahu dengan
benar bagaimana cara membawa organisasi mencapai keberhasilannya, bahkan
sampai pada kemampuan menterjemahkan rencana ke dalam realitas. Pada
konteks ini karyawan akan melihat bagaimana ketegaran dan kekuatan
perusahaan dalam mencapai tujuan hingga sukses, kesuksesan inilah yang
membawa dampak kebanggaan pada diri karyawan. Apalagi mereka sadar bahwa
keterlibatan mereka dalam mencapai kesuksesan itu cukup besar dan sangat
dihargai oleh manajemen.
Boon da Johnson (1980) dalam penelitiannya
terhadap 801 manajer pria dan wanita menemukan aspek lima kunci komitmen yaitu:
(1) komitmen terhadap organisasi (2) komitmen terhadap diri sendiri (3)
komitmen terhadap konsumen (4) komitmen terhadap orang lain dan (5) komitmen
terhadap tugas. Mempergunakan secara konsisten lima komitmen tersebut ialah
kunci menuju manajemen yang efektif. Manajer adalah pusat lingkaran dari
komitmen-komitmen. Manajer yang baik mengambil sebuah perspektif priadi dengan
memerhatikan kelima komitrmen diatas.
Maka dari
itu komitmen dalam suatu perusahaan atau organisasi itu penting dan sebaiknya
komitmen dilakukan pada saat karyawan pertama kali bergabung dengan suatu
perusahaan atau organisasi agar karyawan mempunyai tanggung jawab dalam
melakukan pekerjaannya.
Daftar
Pustaka
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31537/4/Chapter%20II.pdf
Sopiah.
2008. Perilaku Organisasional.
Yogyakarta : C.V Andi Offset.
Usman,
Husaini. 2009. Manajemen:
Teori,praktik,dan riset pendidikan (edisi ketiga). Jakarta : Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar