Jumat, 15 November 2013

Kepercayaan

Kepercayaan
Kepercayaan secara umumnya bermaksud akuan akan benarnya terhadap sesuatu perkara. Biasanya, seseorang yang menaruh kepercayaan ke atas sesuatu pekara itu akan disertai oleh perasaan 'pasti' atau kepastian terhadap pekara yang berkenaan.
Kepercayaan dalam konteks psikologi adalah bermaksud suatu keadaan jiwa yang berkaitan dengan sikap berkedudukan-memihak (propositional attitude). Manakala dalam konteks agama pula, kepercayaan adalah sebahagian daripada batu asas pembangunan moral. Dalam konteks ini, kepercayaan dikenali sebagai Akidah ataupun Iman.
Adapun kepercayaan itu dikatakan berkaitan dengan sikap berkedudukan-memihak, kerana ia sentiasanya melibatkan penekanan, penuntutan, dan jangkaan daripada seorang individu mengenai kebenaran sesuatu. Kebenaran yang dituntut itu mungkin sahih, dan mungkin palsu secara objektif, tetapi bagi individu yang berkenaan ia adalah sahih.

Kepercayaan merupakan hal yang penting karena membantu mengatur kompleksitas, membantu mengembangkan kapasitas aksi, meningkatkan kolaborasi dan meningkatkan kemampuan pembelajaran organisasi. Kunci yang sangat penting dalam membangun kepercayaan yang tinggi dalam organisasi adalah pencapaian hasil, bertindak dengan integritas, dan pendemonstrasian perhatian. Peningkatan tingkat kepercayaan membutuhkan keseimbangan dari hal-hal penting yang telah tersebut di atas, meskipun ada konflik di antara para pihak dalam organisasi. Tindakan penyeimbangan membutuhkan desain organisasi yang dapat mendukung kepercayaan, baik struktur organisasi maupun budaya tidak formal (Shaw,1997). Berdasarkan uraian tersebut timbul suatu pertanyaan. Apa definisi atau pengertian kepercayaan? Dalam hal ini akan dikemukakan definisi atau pengertian kepercayaan menurut pendapat para ahli atau pakar, antara lain : (1) Das dan Teng (1998) memberikan definisi ataupengertian kepercayaan (trust) sebagai derajat di mana seseorang yang percaya menaruh sikap positif terhadap keinginan baik dan keandalan orang lain yang dipercayanya di dalam situasi yang berubah ubah dan beresiko. (2) Rousseau et al, (1998) memberikan definisi atau pengertian kepercayaan sebagai bagian psikologis yang terdiri dari keadaan pasrah untuk menerima kekurangan berdasarkan harapan positif dari niat atau perilaku orang lain. (3) Mayer (1995) memberikab definisi kepercayaan dalam definisi yang lain dinyatakan sebagai keinginan suatu pihak untuk menjadi pasrah/menerima tindakan dari pihak lain berdasarkan pengharapan bahwa pihak lain tersebut akan melakukan sesuatu tindakan tertentu yang penting bagi pihak yang memberikan kepercayaan, terhadap kemampuan memonitor atau mengendalikan pihak lain. (4) Doney et.al. (1998) memberikan definisi atau pengertian kepercayan sebagai sesuatu yang diharapkan dari kejujuran dan perilaku kooperif yang berdasarkan saling berbagi norma-norma dan nilai yang sama .

1.  Pengertian Kepercayaan
Kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk bertumpu pada orang lain dimana kita memiliki keyakinan padanya. Kepercayaan merupakan kondisi mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya. Ketika seseorang mengambil suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan dari orang- orang yang lebih dapat ia percaya dari pada yang kurang dipercayai (Moorman, 1993).
Menurut Rousseau et al (1998), kepercayaan adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perilaku yang baik dari orang lain. Kepercayaan konsumen didefinisikan sebagai kesediaan satu pihak untuk menerima resiko dari tindakan pihak lain berdasarkan harapan bahwa pihak lain akan melakukan tindakan penting untuk pihak yang mempercayainya, terlepas dari kemampuan untuk mengawasi dan mengendalikan tindakan pihak yang dipercaya (Mayer et al, 1995).
Menurut Ba dan Pavlou (2002) mendefinisikan kepercayaan sebagai penilaian hubungan seseorang dengan orang lain yang akan melakukan transaksi tertentu sesuai dengan harapan dalam sebuah lingkungan yang penuh ketidakpastian.
Kepercayaan terjadi ketika seseorang yakin dengan reliabilitas dan integritas dari orang yang dipercaya (Morgan & Hunt, 1994).
Doney dan Canon (1997) bahwa penciptaan awal hubungan mitra dengan pelanggan didasarkan atas kepercayaan. Hal yang senada juga dikemukakan oleh McKnight, Kacmar, dan Choudry (dalam Bachmann & Zaheer, 2006), menyatakan bahwa kepercayaan dibangun sebelum pihak-pihak tertentu saling mengenal satu sama lain melalui interaksi atau transaksi. Kepercayaan secara online mengacu pada kepercayaan dalam lingkungan virtual.
Menurut Rosseau, Sitkin, dan Camere (1998), definisi kepercayaan dalam berbagai konteks yaitu kesediaan seseorang untuk menerima resiko. Diadaptasi dari definisi tersebut, Lim et al (2001) menyatakan kepercayaan konsumen dalam berbelanja internet sebagai kesediaan konsumen untuk mengekspos dirinya terhadap kemungkinan rugi yang dialami selama transaksi berbelanja melalui internet, didasarkan harapan bahwa penjual menjanjikan transaksi yang akan memuaskan konsumen dan mampu untuk mengirim barang atau jasa yang telah dijanjikan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepercayaan konsumen adalah kesediaan satu pihak menerima resiko dari pihak lain berdasarkan keyakinan dan harapan bahwa pihak lain akan melakukan tindakan sesuai yang diharapkan, meskipun kedua belah pihak belum mengenal satu sama lain.
Dimensi Kepercayaan
Menurut McKnight, Kacmar, dan Choudry (dalam Bachmann & Zaheer, 2006), kepercayaan dibangun antara pihak-pihak yang belum saling mengenal baik dalam interaksi maupun proses transkasi. McKnight et al (2002a) menyatakan bahwa ada dua dimensi kepercayaan konsumen, yaitu:
a. Trusting Belief
Trusting belief adalah sejauh mana seseorang percaya dan merasa yakin terhadap orang lain dalam suatu situasi. Trusting belief adalah persepsi pihak yang percaya (konsumen) terhadap pihak yang dipercaya (penjual toko maya) yang mana penjual memiliki karakteristik yang akan menguntungkan konsumen. McKnight et al (2002a) menyatakan bahwa ada tiga elemen yang membangun trusting belief, yaitu benevolence, integrity, competence.
1.     Benevolence
Benevolence (niat baik) berarti seberapa besar seseorang percaya kepada penjual untuk berperilaku baik kepada konsumen. Benevolence merupakan kesediaan penjual untuk melayani kepentingan konsumen.
2.    Integrity
Integrity (integritas) adalah seberapa besar keyakinan seseorang terhadap kejujuran penjual untuk menjaga dan memenuhi kesepakatan yang telah dibuat kepada konsumen.
3.    Competence
Competence (kompetensi) adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimiliki penjual untuk membantu konsumen dalam melakukan sesuatu sesuai dengan yang dibutuhkan konsumen tersebut. Esensi dari kompetensi adalah seberapa besar keberhasilan penjual untuk menghasilkan hal yang diinginkan oleh konsumen. Inti dari kompetensi adalah kemampuan penjual untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
b. Trusting Intention
Trusting intention adalah suatu hal yang disengaja dimana seseorang siap bergantung pada orang lain dalam suatu situasi, ini terjadi secara pribadi dan mengarah langsung kepada orang lain. Trusting intention didasarkan pada kepercayaan kognitif seseorang kepada orang lain. McKnight et al (2002a) menyatakan bahwa ada dua elemen yang membangun trusting intention yaitu willingness to depend dan subjective probability of depending.

i. Willingness to depend
Willingness to depend adalah kesediaan konsumen untuk bergantung kepada penjual berupa penerimaan resiko atau konsekuensi negatif yang mungkin terjadi.
ii.Subjective probability of depending
Subjective probability of depending adalah kesediaan konsumen secara subjektif berupa pemberian informasi pribadi kepada penjual, melakukan transaksi, serta bersedia untuk mengikuti saran atau permintaan dari penjual.
3. Faktor- Faktor yang Memperngaruhi Kepercayaan
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepercayaan seseorang. McKnight et al (2002b) menyatakan bahwa ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepercayaan konsumen yaitu perceived web vendor reputation, dan perceived web site quality.


a. Perceived web vendor reputation
Reputasi merupakan suatu atribut yang diberikan kepada penjual berdasarkan pada informasi dari orang atau sumber lain. Reputasi dapat menjadi penting untuk membangun kepercayaan seorang konsumen terhadap penjual karena konsumen tidak memiliki pengalaman pribadi dengan penjual, Reputasi dari mulut ke mulut yang juga dapat menjadi kunci ketertarikan konsumen. Informasi positif yang didengar oleh konsumen tentang penjual dapat mengurangi persepsi terhadap resiko dan ketidakamanan ketika bertransaksi dengan penjual. Hal ini dapat membantu meningkatkan kepercayaan konsumen tentang kompetensi, benevolence, dan integritas pada penjual.
b. Perceived web site quality
Perceived web site quality yaitu persepsi akan kualitas situs dari toko maya. Tampilan toko maya dapat mempengaruhi kesan pertama yang terbentuk. Menurut Wing Field (dalam Chen & Phillon, 2003), menampilkan website secara professional mengindikasikan bahwa toko maya tersebut berkompeten dalam menjalankan operasionalnya. Tampilan website yang professional memberikan rasa nyaman kepada pelanggan, dengan begitu pelanggan dapat lebih percaya dan nyaman dalam melakukan pembelian.
Kepercayaan Sebagai Landasan Kepemimpinan
Kepercayaan adalah suatu harapan positif bahwa orang tidak akan bertindak secara oportunistik. Bila pengikut mempercayai pemimpinnya, mereka bersedia berkorban bagi tindakan pemimpin.
Pemimpin percaya bahwa hak dan kewajiban mereka tidak akan disalahgunakan. Keefektifan manajerial dan kepemimpinan tergantung pada kemampuan untuk mendapatkan kepercayaan dari para pengikut.
Ada tiga jenis kepercayaan dalam hubungan organisasi:
1.     Kepercayaan berdasarkan penolakan
Kepercayaan yang didasarkan pada ketakutan akan pembalasan jika kepercayaan dilanggar.  Bawahan sebenarnya tidak mempercayai atasannya tetapi karena takut hal itu akan berdampak yang tidak diinginkan maka dia memberikan kepercayaan semu ke pada atasannya.
2.    Kepercayaan berbasiskan pengetahuan
Kepercayaan yang diberikan bawahan kepada atasan yang didasarkan pada keyakinan bahwa atasannya memang benar dan kapabel.
3.    Kepercayaan yang berbasis identifikasi
Kepercaayaan berdasarkan pemahaman timbal-balik tentang setiap instansi pihak lain dan penghargaan atas kemauan dan keinginan pihak lain.
Kunci Membangun Kepercayaan
Robbins (2008) menyatakan, “The essence of leadership is trust” (esensi kepemimpinan adalah kepercayaan). Kepercayaan adalah harapan positif. Kunci membangun kepercayaan ada lima dimensi, yaitu (1) integritas (integrity), (2) kompetensi (competence), (3) konsistensi (concistency), (4) kesetiaan (loyalty), dan (5) keterbukaan (openness) atau transparansi (Robbins,2000).
1.  Integritas (Integrity)
Integritas ialah sifat-sifat yang jujur dan bermoral (Robbins, 2000). “Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana.”  Di organisasi juga tentunya. Jujur dalam berorganisasi misalnya jujur saat mengemukakan pendapat, laporan, jujur masalah uang, jujur dalam menilai kinerja, dan lain-lain. Jujur berkaitan dengan masalah moralitas, realita, dan fakta. Maka, masalah kejujuran pada dasarnya berangkat dari hati nurani seseorang. Tidak jarang, banyak oknum dalam organisasi berbuat dan berkata tidak jujur untuk menutupi sesuatu.
Kejujuran adalah unsur yang menentukan dalam peristiwa komunikasi. Kejujuran tidak saja menjadikan proses komunikasi menjadi efektif, tetapi juga mampu menciptakan pemahaman yang baik di antara komunikan dan komunikator. Pesan yang dilandasi kejujuran mengarahkan komunikasi terhindar dari distorsi. Apalagi jika momentum komunikasi itu terjadi dalam dunia pendidikan. Nilai kejujuran mutlak dipenuhi. Pendidikan tidak hanya menciptakan tamatan yang pintar, tetapi juga harus jujur. Orang pintar belum tentu jujur, begitu pula sebaliknya orang jujur belum tentu pintar. Kejujuran menyaratkan ketidakbohongan. Orang jujur berarti tidak pernah berdusta. Tetapi orang yang paling jujur sekalipun pasti pernah melakukan kebohongan, namun dilakukan dalam keadaan darurat dan untuk kebaikan. Filsuf perempuan, Sissela Bok, dalam bukunya berjudul, Lying, menegaskan bahwa berbohong boleh dilakukan untuk menyelamatkan kehidupan manusia yang tidak berdosa. Namun, jika kebohongan itu untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan financial maka perbuatan itu tidak dapat dibenarkan bahkan diharamkan hukumnya. Integritas moral bukan bermakna kehidupan pribadi telah berkesesuaian dengan persetujuan publik, tetapi juga telah terciptanya kesatuan antara hati nurani yang secara internal terdapat dalam diri manusia, perilaku eksternal dapat dilihat secara fisik dan kepatuhan kepada hukum moral. Secara normatif, setiap orang diajarkan oleh orang tua dan budayanya tentang kejujuran dan moralitas. Menurut Sukardi Rinakit (2008), pada tingkat pribadi, kejujuran sudah sulit ditemukan.
Kepribadian para pimpinan juga memainkan peran penting dalam menumbuhkembangkan kepercayaan dalam organisasi. Agar dipercaya, seorang pemimpin organisasi tentu mutlak harus memiliki integritas dan kejujuran. Mereka harus benar-benar peduli pada etika dan moral, memiliki pendirian yang teguh, selalu berusaha menepati janji, dan berkomitmen penuh bagi kemajuan organisasi dan kesejahteraan anggotanya. Ingatlah orang akan lebih peduli pada apa yang dikerjakan ketimbang apa yang dikatakan. Actions speak louder than words.
2. Kompetensi (competence)
       Integritas saja tentu tidak cukup. Pemimpin harus memiliki bakat, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan gaya yang sesuai. Dengan kata lain, pemimpin harus benar-benar memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Berikutnya adalah kesediaan memikul tanggung jawab sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam organisasi. Pemimpin macam ini tidak akan mudah mencari kambing hitam bila ada hal-hal yang tidak beres. Mereka lebih memfokuskan diri kepada apa yang salah, bukan siapa yang salah.
          Teori birokrasi Weber (Lunenberg & Orstein,2004) menyatakan bahwa kompetensi berkaitan denga kualifikasi. Kompetensi ialah sifat, pengetahuan, dan kemampuan pribadi seseorang yang relevan dalam menjalankan tugasnya secara efektif (Chung & Megginson, 1993). Sedangkan menurut Harris, et al.(1997), kompetensi meliputi seluruh aspek penampilan kerja, melainkan juga persyaratan melatih keterampilan- keterampilan tugas individual, mengelola sejumlah tugas yang berbeda di dalam pekerjaan, merespons ketidakteraturan dan mengatasinya dalam tugas-tugas rutin, serta mempertemukan tanggung jawab dengan harapan-harapan di lingkungan kerja, termasuk bekerja sama dengan yang lain.
Kompetensi terdiri atas kompetensi generik dan spesifik. Kompetensi generik ialah kompetensi yang bersifat umum yang harus dimiliki setiap pekerja. Sedangkan kompetensi spesifik ialah kompetensi khusus untuk mengerjakaa pekerjaan khusus. Secara umum kompetensi merupakan, penegetahuan keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu (Puskur, 2002). Sedangkan Cony R. Semiawan (2006) mendefinisikan kompetensi sebagai kemampuan (ability), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) yang benar dan tuntas untuk menjalankan perannya secara lebih efisien.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi ialah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seseorang, yang mencakup kepribadian, manjerial, entrepreneurship, supervisi, sosial, administrasi, dan teknis dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
3. Konsistensi (concistency)
       Konsistensi ialah sifat kokoh atau teguh (persistent) pada pendirian, meskipun berbagai ancaman menghadang. Orang yang konsisten dapat diramalkan tingkah lakunya, tidak mudah berubah-ubah perilakunya (sikap, pikiran dan perbuatannya), ucapan dan janjinya dapat dipercaya serta cocok antara kata dan perbuatannya. Ketidakkonsistenan anatara ucapan dan perbuatan, janji dan buktinya, dapat mengurangi bahkan menghilangkan kepercayaan.
4. Kesetiaan (loyalty)
       Kesetiaan ialah keinginan untuk selalu melindungi, menyelamatkan, memenuhi atau taat pada apa yang disuruh atau dimintanya, dan penuh pengabdian. Orang yang setia tidak aka berkhianat, serong atau selingkuh. Loyalitas mengacu pada kesetiaan pada organisasi, kerelaan berkorban untuk organisasi, dan hal-hal lain yang sifatnya herois. Loyalitas akan menggerakkan motor-motor organisasi untuk tetap bekerja meski dalam kondisi yang tidak menguntungkan, kondisi kekurangan, atau kondisi-kondisi buruk lainnya.
Pada kasus-kasus tertentu, suatu organisasi dapat bertahan karena memiliki anggota-anggota yan loyal. Padahal, secara program organisasi tersebut bisa dikatakan tidak bergerak sama sekali. Ada banyak hal yang membuat orang menjadi loyal pada sebuah organisasi. Kebanyakan orang menjadi loyal karena telah memahami seluk beluk organisasi itu, masalah, tantangan yang dihadapi organisasi dalam kaitannya dengan tujuan organisasi itu, atau karena telah lama berorganisasi disitu. Anggota yang loyal, ibarat seorang pejuang yang rela tetap semangat berperang dalam kondisi perut lapar, amunisi dan senjata kurang, walaupun pasukan diambang kekalahan.
5. Keterbukaan (openness)
       Keterbukaan adalah keadaan dimana setiap orang yang terkait dengan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Keterbukaan sama dengan polos, apa adanya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka terhadap publik tentang apa yang dikerjakan oleh sekolah.  Hal-hal yag dibuka, misalnya administrasi kedinasan, keuangaan sekolah, manajemen sekolah dan kebijakan sekolah. Pemimpin Unit Produksi Sekolah (UPS) yang terikat dengan warga sekolah, dalam mengembangkan UPS harus melakukan diskusi terbuka dalam memajukan UPS (Hisrich & Peters 2002). Keterbukaan seorang entrepreneur dalam manajemen UPS dapat mengurangi, bahkan menghilangkan rasa saling curiga antara sekolah dengan stakeholder-nya. Keterbukaan merupakan awal dari kejujuran. Sekarang banyak orang pintar, tetapi sedikit orang yang jujur. Tugas kepala sekolah dan guru adalah memberi dan menjadi contoh sebagai orang yang jujur kepada siswa-siswanya. Keterbukaan hanya akan efektif jika ada komunikasi yang efektif. Demikian sebaliknya.
12
Sekolah adalah organisasi pelayan publik dalam bidang pendidikan yang  diberi mandat oleh masyarakat sehingga keterbukaan merupakan hak publik. Pengembangan keterbukaan sangat diperlukan untuk membangun keyakinan dan kepercayaan publik terhadap sekolah.
Cara untuk meningkatkan keterbukaan adalah (1) mendayagunakan berbagai jalur komunikasi, baik langsung maupun tidak langsung, (2) menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi, bentuk informasi dan prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada publik, (3) mengupayakan peraturan yang menjamin hak publik untuk memperoleh informasi.

Cara Membangun Kepercayaan
          Cara membangun kepercayaan adalah menjadi pemimpin yang mampu menyesuaikan diri, teguh pendiriannya, peduli, dapat dipercaya (jujur), bersama-sama menciptakan visi dan budaya, bersama-sama menciptakan nilai dan mencapai tujuan, menjadi pendengar yang baik, mendemonstrasikan keterampilan profesional, komitmen terhadap diri sendiri, kelompok, dan organisasi (Reinhartz & Beach, 2004).
1. Mampu Menyesuaikan Diri 
Pemimpin yang mampu menyesuaikan diri adalah pemimpin yang mudah beradapatasi dengan lingkungan yang selalu berubah-ubah dengan cepatnya. Ia harus fleksibel. Fleksibel ialah bersifat luwes kepada siapa saja dalam pergaulan. Tidak kaku dengan orang lain maupun dengan aturan sekolah yang berlaku. Dengan sifat fleksibel seseorang lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya sekolah secara optimal, tidak lagi harus menunggu petunjuk dari atasan dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya sekolah yang ada. Akibatnya seseorang akan lebih responsif dan lebih cepat dalam merespon kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dihadapinya. Meskipun seseorang sudah memiliki keluwesan-keluwesan, ia harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di sekolahnya. Dalam konteks sekolah, fleksisbilitas ialah keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola sekolah dengan baik dalam rangka meningkatkan kualitas sekolah. Pemimpin yang teguh pada pendiriannya (Persistent).
2. Kepedulian
Kepedulian (caring) berkorelasi positif dengan kepercayaan. Pemimpin harus bisa menjadi sandaran bagi para pengikutnya tatkala mereka merasa lelah, cemas, frustrasi, dan kehilangan motivasi. Menghadapi kondisi pengikut yang demikian, dibutuhkan pemimpin yang mampu berperan sebagai motivator yang mampu membangkitkan kembali semangat para pengikut. Pemimpin secacam ini akan mampu membangun kedekatan emosional dengan para pengikutnya. Demikian pula sebaliknya.
3. Menciptakan Visi dan Budaya
Berasama-sama menciptakan visi dan budaya adalah pemimpin bersama pengikutnya sama-sama menciptakan visi dan budaya lokal yang ingin diciptakan, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Mukadimah UUD 1945 sehingga dapat dipahami bahwa kekeluargaan dan gotong royong, musyawarah dan mufakat, serta toleransi merupakan keunggulan bangsa. Nilai-nilai sosial dan budaya lokal tersebut sudah berabad-abad hadir menjadi jati diri masyarakat Indonesia terutama di masyarakat pedesaan sehingga tercipta keamanan, perdamaian, keadilan, persaudaraan dan kemakmuran. Sebaliknya, kelemahan nilai-nilai dan budaya bangsa menurut Koentjaraningrat (1982) adalah feodal, rendah diri, malas, munafik dan suka mencari “kambing hitam”. Dengan berkembangnya liberalisme, individualisme. Materialisme, Hedonisme dan pragmatisme semakin menambah atau mendukung kelemahan-kelemahan nilai-nilai dan budaya bangsa tersebut.
Sebagai contoh, feodalisme yang berujung pada status sosial, yaitu diperolehnya kedudukan dan kekuasaan, serta materi justru terpromosi. Akibatnya, perkembangan nilai dan budaya bangsa dari era ke era diwarnai oleh tumbuhnya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), nafsu berburu kedudukan, kekuasaan dan materi. Terlebih di era reformasi di mana kebebasan dan demokratisasi dipromosi tanpa rambu-rambu yang memadai dan melihat kenyataan di masyarakat (Kiki Syakhnakri, 2007). Kepemimpinan merupakan kunci keberhasilan penciptaan nilai-nilai dan budaya bangsa. Oleh karena itu, diperlukan kepemimpinan yang jujur, kuat, bersih, berani mengambil kepeutusan dan resiko, menjadi teladan, lebih banyak bekerja daripada berbicara. Dengan kata lain, kepemimpinan harus yang berkarakter. Akan tetapi, menurut Sukardi Rinakit (2008), pada tingkat lingkungan, semangat gotong royong semakin luntur. Pada tingkat nasional semagat kebangsaan merosot, kepemimpinan tampil tanpa karakter, sikap kesatria dan keteladanan menjadi langka. Bahkan ada kesan, tidak ada keberpihakkan pemimpin terhadap rakyat lemah yang menjadi korban perubahan. Pendeknya, tak ada yang menangis untuk rakyat miskin.
Keberhasilan Amerika, Cina, Malaysia  dan Singapura dalam proses pembangunan nasionalnya adalah sebagian besar karena peran kepemimpinan berkarakter. Oleh karena itu, dalam proses penciptaan nilai-nilai dan budaya bangsa, para pemimpin pada setiap lini termasuk kepemimpinan pendidikan bermasyarakat dituntut terlebih dahulu memiliki karakter dan mampu menjadi teladan (Kiki Syahnakri, 2007). Para pendiri bangasa (founding fathers) menjadikannya sebagai nilai yang harus diciptakan dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Nilai- nilai ini digali dari kearifan lokal yang sudah lama berkembang di berbagai kalangan masyarakat Indonesia (Kiki Syahnari, 2007). Misalnya toleransi dapat dikatakan semua kalangan masyarakat nusatara memiliki toleransi yang tinggi. Oleh karena itu saat agama Budha, Hindu, Katolik, Kristen dan Islam masuk ke Indonesia, sangat sedikit terjadinya gejolak. Tidak seperti di Eropa dan Timut Tengah yang tiada henti dilanda konflik, bahkan perang dengan latar belakang agama. Sedangkan nilai-nilai ekonomi yang ingin diciptakan adalah nilai-nilai Creativity, Relationship, Opportunity, Winner, and Nothing to loose (CROWN), belajar, dan mutu (Kompas, 20 Februari 2008).
Kreativitas ialah refleksi kecerdasan kreatif kita. Kecerdasan kreatifitas kita menggambarkan bagaimana kita melihat dan memahami dunia,keyakinan dasar kita, dan kepribadian kita. Kreativitas memusatkan perhatian pada bagaimana kita berpikir dan keinginan kita yang kuat untuk mencapai sesuatu yang baru atau berbeda (Rowe, 2004). Kreativitas meliputi; intuitif, inovatif, imajinatif dan inspiratif (Rowe,2004). Jepang dan Singapura adalah Negara  yang miskin sumber daya alam, tetapi masyarakatnya aman dan sejahtera karena melatihkan nilai-nilai kreativitas sehingga alumninya berdaya saing.
Relationship adalah nilai-nilai hubungan manusiawi (human relation) atau hubungan interpersonal, Pendidikan harus melatih nilai-nilai relationship karena sebagai pekerja atau pengusaha, ia harus memiliki relationship yang baik ketika berhubungan dengan atasannya atau pelanggannya. Untuk itu pendidikan harus membekali alumninya dengan nilai-nilai relationship agar memiliki kompetensi sosial atau hubungan manusiawi yang baik.
Opportunity ialah faktor-faktor dari luar diri yang mendukung orang untuk sukses. Peluang adalah salah satu unsur SWOT (Strengths, Weakness, Threats and Opportunities). Pendidikan masyarakat hendaknya membekali alumninya dengan nilai-nilai opportunity dan manajemen risiko agar alumninya mampu membaca peluang dan berani mengambil resiko sehingga alumninya berdaya saing tinggi.
Winner, ialah pemenang dalam persaingan. Untuk menjadi pemenang, seseorang harus memiliki nilai-nilai dan mental untuk menjadi juara. Agar menjadi pemenang, maka ciptakanlah sesuatu dengan prinsip melakukan yang terbaik (do the best). Pendidikan masyarakat hendaknya membekali alumninya dengan nilai-nilai winner agar alumninya menjadi pekerja bermental juara sehingga alumninya mampu memenangkan persaingan.
Nothing to loose ialah konsistensi, yaitu sifat kokoh atau teguh (persistent) pada pendirian meskipun berbagai ancaman menghadang. Pendidikan masyarakat harus membekali alumninya dengan nilai-nilai nothing to loose, yaitu sebagai pengusaha atau pekerja yang ulet, kerja keras dan cerdas, tahan banting, dan memilki etos kerja yang tinggi sehingga alumninya berdaya saing yang tinggi.
4. Komitmen
Pemimpin ialah keterpanggilan dan pengabdian dan tanggung jawab terhadap diri sendiri, kelompok, organisasi untuk terlibat, terikat dan kebersamaan dengan orang, konsumen, organisasi dan tugas. Setiap orang yang bekerja di suatu perusahaan atau organisasi, harus mempunyai komitmen dalam bekerja karena apabila suatu perusahaan karyawannya tidak mempunyai suatu komitmen dalam bekerja, maka tujuan dari perusahaan atau organisasi tersebut tidak akan tercapai. Namun terkadang suatu perusahaan atau organisasi kurang memperhatikan komitmen yang ada terhadap karyawannya, sehingga berdampak pada penurunan kinerja terhadap karyawan ataupun loyalitas karyawan menjadi berkurang.
Komitmen pada setiap karyawan sangat penting karena dengan suatu komitmen seorang karyawan dapat menjadi lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dibanding dengan karyawan yang tidak mempunyai komitmen. Biasanya karyawan yang memiliki suatu komitmen, akan bekerja secara optimal sehingga dapat mencurahkan perhatian, pikiran, tenaga dan waktunya untuk pekerjaanya, sehingga apa yang sudah dikerjakannya sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan.
Beberapa ahli mendefinisikan komitmen organisasional karyawan sebagai berikut:
  1. Mathis and Jackson dalam Sopiah (2008:155) memberikan definisi “Organizational Commitment is the degree to which employees believe in and accept organizational goals and desire to remain with the organization (komitmen organisasional adalah derajat yang mana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi)”.
  2. Mowday dalam Sopiah (2008:155) menyebut komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional. Menurut dia, “komitmen organisasional merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan pegawai. Komitmen organisasional adalah identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi. Komitmen organisasional adalah keinginan anggota anggota organisasi untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi”.
  3. Lincoln dalam Sopiah (2008:155), “komitmen organisasional mencakup kebanggaan anggota, kesetiaan anggota dan kemauan anggota pada organisasi”.
  4. Blau and Boal dalam Sopiah (2008:155) menyebutkan “komitmen organisasional sebagai keberpihakan dan loyalitas karyawan terhadap organisasi dan tujuan organisasi”.
  5. Robbins dalam Sopiah (2008:155-156) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai “suatu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari karyawan terhadap organisasi.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen dalam organisasi adalah sebuah kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dimana seseorang dapat bertahan dengan kesetiaannya demi kepentingan organisasi sehingga terbentuk sebuah loyalitas sehingga membuat seseorang dapat bertahan untuk memelihara keanggotaannya dalam suatu organisasi.
Menurut Meyer, Allen & Smith dalam jurnal Proceeding PESAT Vol.2, komitmen organisasi terdiri dari 3 komponen yaitu:
  1. Komitmen kerja afektif (affective occupational commitment)
Komitmen sebagai ketertarikan afektif/psikologis karyawan terhadap pekerjaannya. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka menginginkannya.
  1. Komitmen kerja kontinuans (continuance occupational commitment)
Mengarah pada perhitungan untung-rugi dalam diri karyawan sehubungan dengan keinginannya untuk tetap mempertahankan atau meninggalkan pekerjaannya. Artinya, komitmen kerja disini dianggap sebagai persepsi harga yang harus dibayar jika karyawan meninggalkan pekerjaannya. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka membutuhkannya.
  1. Komitmen kerja normatif (normative occupational commitment)
Komitmen sebagai kewajiban untuk bertahan dalam pekerjaannya. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka merasa wajib untuk melakukannya serta didasari pada adanya keyakinan tentang apa yang benar dan berkaitan dengan moral.
Namun terkadang ketiga komitmen tersebut tidak semuanya tercapai oleh karyawan terhadap suatu perusahaan atau organisasi, lalu bagaimana untuk dapat meningkatkan komitmen karyawan dalam suatu perusahaan atau organisasi.
Menurut Martin dan Nicholls (dalam Armstrong, 1991) menyatakan bahwa ada 3 (tiga) pilar untuk membentuk komitmen seseorang terhadap organisasi, yaitu:
  1. Menciptakan rasa kepemilikan terhadap organisasi, untuk menciptakan kondisi ini orang harus mengidentifikasi dirinya dalam organisasi, untuk mempercayai bahwa ada guna dan manfaatnya bekerja di organisasi, untuk merasakan kenyamanan didalamnya, untuk mendukung nilai-nilai, visi, dan misi organisasi dalam mencapai tujuannya. Salah satu faktor penting dalam menciptakan rasa kepemilikan ini adalah meningkatkan perasaan seluruh anggota organisasi bahwa perusahaan (organisasi) ini adalah benar-benar merupakan “milik” mereka. Kepemilikan ini tidak sekedar dalam bentuk kepemilikan saham saja (meskipun kadangkala ini juga merupakan cara yang cukup membantu), namun lebih berupa meningkatkan kepercayaan di seluruh anggota organisasi bahwa mereka benar-benar (secara jujur) diterima oleh manajemen sebagai bagian dari organisasi. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk itu, mengajak mereka anggota organisasi untuk terlibat memutuskan penciptaan dan pengembangan produk baru, terlibat memutuskan perubahan rancangan kerja dan sebagainya. Bila mereka anggota organisasi merasa terlibat dan semua idenya dipertimbangkan maka muncul perasaan kalau mereka ikut berkontribusi terhadap pencapaian hasil. Apalagi ditambah dengan kepercayaan kalau hasil yang diperoleh organisasi akan kembali pada kesejahteraan mereka pula.
  2. Menciptakan semangat dalam bekerja, cara ini dapat dilakukan dengan lebih mengkonsentrasikan pada pengelolaan faktor-faktor motivasi instrinsik dan menggunakan berbagai cara perancangan pekerjaan. Menciptakan semangat kerja bawahan bisa dengan cara membuat kualitas kepemimpinan yaitu menumbuhkan kemauan manajer dan supervisor untuk memperhatikan sepenuhnya motivasi dan komitmen bawahan melalui pemberian delegasi tanggung jawab dan pendayagunaan ketrampilan bawahan.
  3. Keyakinan dalam manajemen, cara ini mampu dilakukan manakala organisasi benar-benar telah menunjukkan dan mempertahankan kesuksesan. Manajemen yang sukses menunjukkan kepada bawahan bahwa manajemen tahu benar kemana organisasi ini akan dibawa, tahu dengan benar bagaimana cara membawa organisasi mencapai keberhasilannya, bahkan sampai pada kemampuan menterjemahkan rencana ke dalam realitas. Pada konteks ini karyawan akan melihat bagaimana ketegaran dan kekuatan perusahaan dalam mencapai tujuan hingga sukses, kesuksesan inilah yang membawa dampak kebanggaan pada diri karyawan. Apalagi mereka sadar bahwa keterlibatan mereka dalam mencapai kesuksesan itu cukup besar dan sangat dihargai oleh manajemen.
 Boon da Johnson (1980) dalam penelitiannya terhadap 801 manajer pria dan wanita menemukan aspek lima kunci komitmen yaitu: (1) komitmen terhadap organisasi (2) komitmen terhadap diri sendiri (3) komitmen terhadap konsumen (4) komitmen terhadap orang lain dan (5) komitmen terhadap tugas. Mempergunakan secara konsisten lima komitmen tersebut ialah kunci menuju manajemen yang efektif. Manajer adalah pusat lingkaran dari komitmen-komitmen. Manajer yang baik mengambil sebuah perspektif priadi dengan memerhatikan kelima komitrmen diatas.
Maka dari itu komitmen dalam suatu perusahaan atau organisasi itu penting dan sebaiknya komitmen dilakukan pada saat karyawan pertama kali bergabung dengan suatu perusahaan atau organisasi agar karyawan mempunyai tanggung jawab dalam melakukan pekerjaannya.


Daftar Pustaka
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31537/4/Chapter%20II.pdf
Sopiah. 2008. Perilaku Organisasional. Yogyakarta : C.V Andi Offset.
Usman, Husaini. 2009. Manajemen: Teori,praktik,dan riset pendidikan (edisi ketiga). Jakarta : Bumi Aksara.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar